Selasa, 26 Juni 2012

Ujian Nasional Edisi 2013

Media Cakrawala – Tabloid Online – Info Aktual. Ujian Nasional (UN) akan menjadi syarat masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ketentuan ini akan diberlakukan pada tahun 2013. Hal ini seperti yang di sampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh saat akan di mulainya UN tingkat SMA/SMK dan MA tanggal 16 s/d 24 April yang lalu di Jakarta.

“Mulai tahun 2013, 60% mahasiswa baru diseleksi melalui nilai rapor dan UN. Saat ini baru mencapai 25%,”, demikian di katakan Mendikbud. Dan Mendikbud juga menyampaikan bahwasanya Ujian Nasional tahun ini tidak terjadi kebocoran, karena hal itu, sistem yang sudah ada akan dipertahankan dan di tingkatkan, dan salah satu penunjang tidak terjadinya kebocoran soal UN karena menggunakan sistem percetakan terpusat yang menggunakan “security printing”.

Mengenai soal UN 2012, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah menyiapkan lima jenis soal berbeda dengan tingkat kesulitan yang sama. Seperti di katakan oleh Pak Menteri, “Dulu soal nomor satu di tipe A bisa jadi soal nomor 10 di tipe B, sekarang tidak lagi. Soalnya benar-benar berbeda dengan tingkat kesulitan yang sama sehingga diharapkan bisa meminimalisasi terjadinya upaya kecurangan”.

Penerapan UN sebagai syarat masuk PTN adalah seleksi masuk PTN yang melewati jalur undangan yang saat ini sudah mencapai 60 persen (saat ini baru 25 persen), sedangkan SNMPTN tulis 40 persen akan tetap menggunakan sistem seleksi ujian tulis. Terkait mekanisme penggunaan UN sebagai syarat masuk PTN jalur undangan akan diatur kemudian.
-------------------------------------------------------------
Menanggapi berita diatas :

Kabarnya, telah ditetapkan bahwa pada tahun 2013 nilai UN akan mempengaruhi keberhasilan siswa SMA dalam seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri. Peraturan yang akan ditetapkan Kemendiknas mulai tahun depan ini mendapatkan berbagi komentar dari publik. Hal ini tentu saja karena masalah kredibilitas Ujian Nasional. Jika hal itu benar akan terjadi mulai tahun 2013, maka saya termasuk siswa yang beruntung karena lulus pada tahun 2012. Pasalnya, jika pada tahun 2012 diberlakukan peraturan seperti itu kemungkinan besar saya tidak akan berhasil diterima di PTN sebab perolehan nilai UN saya bisa dikatakan masih di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan teman-teman satu sekolah ataupun mungkin se-Kabupaten. Saya se bagai alumni muda SMA akan memberikan sedikit pandangan terhadap Ujian Nasional Edisi 2013.

Banyak yang berpendapat bahwa nilai UN tidak layak digunakan untuk seleksi masuk PTN sebab hasil UN di beberapa atau sebagian besar daerah ataupun sekolah di Indonesia belum bisa dipertanggungjawabkan. Ya, setidaknya hingga Ujian Nasional edisi terakhir yaitu tahun ajaran 2011/2012 berbagai jenis kecurangan masih terjadi sebagaimana survey yang saya lakukan terhadap beberapa siswa yang mau buka mulut dari berbagai sekolah di Kabupaten saya dan beberapa teman dari daerah lain yang juga memberikan sedikit keterangan. 

Namun jika UN benar-benar akan digunakan dalam seleksi masuk PTN, ini mungkin akan menjadi strategi yang ampuh untuk meningkatkan kredibilitas UN mulai tahun 2013 sehingga tahun 2012 merupakan akhir dari era kelam Ujian Nasional dan kita akan mengucapkan selamat tinggal terhadap berbagai kecurangan publik dan pembodohan massal yang kerap terjadi setiap tahunnya. Dengan kata lain, bisa saja UN tahun 2013 akan berjalan relatif murni dan kredibel sebagaimana ujian tulis SNMPTN. Lho? Mengapa saya mengatakan demikian? Berikut penjelasannya.

Sebelumnya, bagi anda pembaca yang pernah mengalami Ujian Nasional (dalam hal ini sebagian besar/tidak semuanya) pasti merasakan suasana kekompakan dan kebersamaan antar teman se-angkatan karena ingin lulus bersama-sama sehingga akhirnya menghalalkan segala cara demi kelulusan bersama 100% dengan nilai yang bisa dibilang mahal (seakan-akan se-angkatan gak ada yang madesu). Kemudian di kalangan pejabat bidang pendidikan di Kota/Kabupaten, demi menjaga image dan citra Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten masing-masing, dilakukan berbagai cara untuk ‘mengakali’ pelaksanaan Ujian Nasional mulai dari distribusi kunci jawaban (caranya tentu beda-beda sesuai pepatah : Lain ladang lain belalang) ke seluruh sekolah di Kabupaten/Kota sehingga hasilnya seluruh siswa se-Kabupaten/Kota tersebut lulus 100% dengan perolehan nilai rata-rata tinggi. Begitu juga dengan sekolah, demi menjaga reputasi, akreditasi, dan citra sekolah di mata masyarakat tentunya. Dan atas konsep ‘saling ngerti’ hampir seluruh sekolah di Kabupaten/Kota melaksanakan kerjasama terselubung. Hal ini diakibatkan faktor ketakutan terhadap ketidaklulusan yang dihadapi hampir tiap sekolah, walaupun sekolah favorit dan bonafit sekalipun. Dan setelah pengumuman, semua senang, semua ikhlas atas kerjasama tersebut karena pada saat itu UN hanya menentukan kelulusan dan gak ngaruh buat masuk perguruan tinggi. 

Nah, sekarang apa yang terjadi kalau nilai UN berpengaruh terhadap keberhasilan masuk PTN? Kemungkinan suasana “Kebersamaan dan kekompakan” bisa berubah menjadi suasana “Persaingan”. Seorang peserta UN bersaing (bukan lagi bekerjasama) dengan peserta UN lain demi memperoleh nilai lebih tinggi daripada peserta lainnya sehingga punya kans lebih baik untuk berhasil masuk PTN pilihannya. Sekolah A yang lebih favorit dan berisi siwa-siswa berintelektual tinggi gak akan rela dong kalau ternyata sekolah B yang non-favorit dapat lebih banyak kursi di PTN karena faktor nilai UN yang mungkin beda-beda tipis. Akhirnya, demi persaingan menuju PTN kemungkinan tiap-tiap sekolah akan cenderung “berjalan masing-masing” dalam menghadapi UN. Ini adalah sebuah suasana psikologis dimana suatu lembaga sekolah tidak hanya bertanggungjawab atas kelulusan (dalam hal ini dapat diselesaikan melalui kerjasama) tetapi juga pada kompetensi lulusan (dalam hal ini adalah daya serap di PTN yang tidak bisa diselesaikan melalui kerjasama). Akhirnya terjadilah persaingan antar sekolah atau lebih tepat lagi antar siswa dalam pelaksanaan UN bukan lagi kerjasama. Hal yang bisa dilakukan sekolah tentu saja memanfaatkan metode pengawasan silang, yaitu dengan mengintruksikan setiap guru untuk memperketat pengawasan di sekolah-sekolah yang mereka awasi, tidak memberikan celah bagi siswa sekolah lain untuk curang. Di kalangan siswa, persaingan pun terjadi, seperti telah disebutkan diatas, menganggap seluruh temannya adalah saingan, apalagi temannya yang memiliki minat di jurusan dan universitas yang sama. Belajar sungguh-sungguh dan tidak saling membantu mungkin adalah prinsip yang mereka anut dalam ujian kelulusan dan persaingan menuju PTN ini. Tepat seperti suasana Ujian Tulis SNMPTN. Namun, hal-hal diatas hanya merupakan kemungkinan-kemungkinan yang ditinjau dari segi psikologis, dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain dari berbagi sudut pandang.
  
Dan jika kecurangan-kecurangan tetap terjadi, tentu saja akan banyak yang merasa tidak fair. Bayangkan saja berapa kecil varian nilai yang mungkin terjadi di tiap Kabupaten/Kota apalagi di tiap sekolah mengingat sumber “pencerahan” yang sama. Bayangkan berapa banyak yang membulatkan jawaban tanpa membaca soal. Dan kemungkinan PTN salah pilih akan semakin besar saja. Namun, tentu saja penilaian dari PTN untuk seleksi jalur undangan yang akan melibatkan nilai UN tidak akan sesimpel mengurutkan nilai UN siswa dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah. Tentu saja ada faktor-faktor yang lain sebaga pertimbangan, perbandingan dengan hasil try out Pra-UN misalnya, atau perbandingan nilai UN dengan nilai rapot (jika nilai rapot juga disertakan dalam seleksi), atau pertimbangan-pertimbangan lain maupun kemungkinan kecurigaan PTN terhadap sekolah yang punya nilai varian ataupun standar deviasi mendekati nol. Intinya, walaupun nilai UN disertakan dalam SNMPTN jalur Undangan, penilaian oleh PTN kemungkinan tidak terlau dititikberatkan pada nilai UN. Justru pertanyaan yang sulit dijawab adalah mengapa dalam seleksi masuk PTN harus Ujian Tulis SNMPTN yang dihilangkan, mengapa tidak UN saja yang dihilangkan? Dan kelulusan kembali sepenuhnya ditentukan oleh sekolah. Jika memang harus UN yang menjadi faktor penentu (selain nilai rapor), kemdiknas seharusnya tidak lagi menutup mata dan telinga atas berbagai laporan kecurangan yang terjadi.

 (@agungpodjok)
Read More